Sejarah
Kondisi
Asmat yang berlumpur dan peperangan antar masyarakatnya, pada awalnya
tidak menarik perhatian dan dipandang sebelah mata oleh Pemerintah
Belanda. Kemudian baru diketahui bahwa seluruh Asmat menyimpan berbagai
macam kekayaan alam yang luar biasa. Selain keunikan pola hidup peramu
yang animis dengan representasi dalam berbagai bentuk ritual dan ukiran.
Di beberapa titik terdapat sumber minyak bumi. Hutan-hutan ditumbuhi
berbagai macam pohon bakau, palma, pandan, kayu besi yang bagus untuk
bangunan dan kayu gaharu yang mahal harganya. Di tengah hutan terdapat
rimbunan pohon sagu yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok.
Sungai-sungai dan lautnya kaya akan berbagai macam ikan, udang, kepiting
dan buaya dll.
Baru pada awal 1900-an wilayah Selatan
Papua (dulu Irian Jaya) termasuk Asmat mulai dilirik dan dieksplorasi.
Kemudian untuk kepentingan keamanan maka pada tahun 1936 Pemerintah
Belanda membangun pos pemerintahan di Asmat. Bapak Felix Maturbongs yang
diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats (1938-1943) mendatangkan
tukang-tukang dari Kei untuk membangun kompleks Pos Pemerintahan di
Agats. Oleh orang Asmat, pos pemerintahan itu disebut Akat (baik,
bagus). Kata Akat kemudian berubah menjadi Agats (karena lidah orang
Belanda sulit menyebut Akat). Pada tahun 1936 ini juga P. Herman
Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu
dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika. Inilah misi pertama di wilayah
lumpur Asmat. Kunjungan perdana ini guna melihat langsung keadaan Asmat
dan mencari kemungkinan untuk pewartaan Injil. Tercatat bahwa pada tahun
1938, P. Hendrikus Conelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur-Kei.
Kemudian dua (2) gereja dibangun (di Syuru dan Ayam). Pada Agustus 1941,
P. Cornelisse, MSC mengirim dua Guru Katolik ke Agats untuk rencana
pembukaan SD Katolik Syuru dan Ayam. Bulan November 1941, Guru Thadeus
Ngaderman, Yoseph Renwarin, Natalis Kelanit, Emerikus Rahawarin dan Guru
Isaias Maturbongs mengajar perdana di SD Katolik Ewer, Syuru dan Ayam.
Sampai tahun 1942, belum ada warga pribumi yang dibaptis. Umat Katolik
di Agats terdiri dari anggota keluarga guru dan pegawai pemerintah
antara 40-50 orang. Pater Cornelisse, MSC merayakan Natal 1942 di Agats
dan kembali ke Langgur dengan K.M. Abatras. Pada Januari 1943, tentara
Jepang telah memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat
telegram dari Resident Merauke bahwa penduduk Agats segera diungsikan ke
Merauke dan Pos Agats dimusnahkan. Pada 26 Januari 1943, Bestir dan
semua penduduk Agats(pendatang) berangkat dengan K.M. Herman ke Merauke.
Sambil bertolak dari Agats, seluruh Pos Agats dalam keadaan terbakar.
Sampai di sini semua usaha awal pewartaan untuk Asmat dihentikan karena
situasi Perang Dunia II.
Baru
pada 1950-an misi di Asmat dimulai kembali saat P. Gerarld Zegwaard,
MSC mengunjungi Asmat. Beliau berusaha memulangkan kembali penduduk
Asmat yang sebelumnya mengungsi ke Kamoro. P. Zegwaard menempatkan 5
orang Katekis di kampung Ao, Kapi, As-Atat dan Nakai yang sekarang
berkembang menjadi Paroki Yamasj. Pada Januari 1953, P. Zegwaard, MSC
mulai menetap di Agats dan pada 3 Pebruari 1953 membaptis seorang ibu di
Kampung Syuru (orang Asmat pertama). Demi efektifitas pelayanan dan
pewartaan maka dibuka pusat-pusat misi di Agats, Ayam, Yamasj,
Sawa-Erma, Atsj dan Pirimapun. Didesak oleh kebutuhan akan kenyamanan
belajar bagi anak-anak maka pada tahun 1956, para suster PBHK (Putri
Bunda Hati Kudus) membuka sebuah Asrama Putri dan membantu melayani di
Poliklinik Agats.
Setelah melalui suatu proses panjang,
akhirnya pada 26 Perbuari 1958 terjadi penandatanganan kontrak kerja
antara Keuskupan Agung Merauke dengan Pro-Provinsi OSC St. Odilia
Amerika untuk secara khusus melayani daerah Asmat. Sedangkan daerah
Basim, Bayun, Pirimapun yang dihuni oleh berbagai suku tetap ditangani
oleh para misionaris MSC. Empat (4) misionaris OSC pertama tiba di
lumpur Asmat pada 15 Desember 1958 yaitu: Pst. Frank Pitka, OSC, Pst.
Delmar Hesch, OSC, Br. Joseph DeLouw, OSC dan Br. Clarence Neuner, OSC.
Kemudian sejak 1 November 1961 terjadi peralihan resmi tanggung jawab
misi di daerah Asmat ketika Mgr. Herman Tillemans, MSC (Uskup Agung
Merauke) mengangkat P. Francis Pitka, OSC menjadi Vicar Delegatus untuk
daerah Asmat. Tiga tahun berselang, OSC mengutus anggotanya untuk
memperkuat misi di Asmat dengan membuka pusat-pusat misi baru di
Sawa-Erma, Komor, Yaosakor dan Basim. November 1966, para suster TMM
(Tarekat Maria Mediatrix) datang dari Langgur – (Kei Kecil). 4 Suster
TMM perdana yaitu: Sr. Sebastiana Lesomar, MM, Sr. Margareta, MM, Sr.
Edmunda Takerubun, MM dan Sr. Antonina, MM. Para suster ini kemudian
menggantikan suster PBHK.
14 Desember 1966, P. Alphonse A. Sowada,
OSC diangkat sebagai Vicarius Generalis untuk Asmat. Selanjutnya pada 21
Agustus 1969, Vatikan mengumumkan pengangkatannya sebagai Uskup Agats.
Tiga bulan kemudian, 23 November 1969, Keuskupan Agats berdiri
bertepatan dengan penahbisan P. Alphonse A. Sowada, OSC sebagai Uskup
Pertama. Sejak itu Uskup baru bersama para Crosier di Asmat
terus-menerus mencari bentuk warta Injil yang tepat untuk pembangunan
dan pengembangan masyarakat Asmat.
Bertepatan dengan penutupan Pesta Perak
hadirnya misi di Asmat maka diadakan Muspas (Musyawarah Pastoral)
Keuskupan Agats pertama pada Februari 1979. Saat itu dihasilkan sejumlah
usulan untuk pengembangan pastoral. Kemudian pada 20 -25 Oktober 1980,
15 petugas pastoral secara sistematis menyusun rencana pastoral lima
tahunan yang menghasilkan Visi Gereja Baru dan prioritas pastoral yang
menekankan unsur budaya Asmat.
Menanggapi hasil Muspas maka datang
beberapa pelayan yang memperkuat barisan petugas pastoral yang
sebelumnya telah berkarya di Asmat. Pastor Marryknoll, P. Vince Cole, MM
tiba di Asmat pada akhir 1979. Kemudian pada 17 November 1980, tibalah
empat (4) Crosier dari Provinsi Bandung: P. Agustinus Made, OSC, P.
Yohanes Widyasuharjo, OSC, Fr. Agus Rachmat, OSC dan Fr. Bambang, OSC
untuk melayani Paroki Atsj dan Yaosakor. Dua (2) pastor Millhil
menyusul: P. Joseph Haas, MHM dan P. Anton Putman, MHM di pusat Paroki
Senggo tahun 1982 (P. Anton Putman baru pulang ke Belanda 2009 lalu).
Satu tahun kemudian pada 13 Oktober 1983, Sr. Paulina Gani, OSU untuk
pertama kalinya datang melayani di Keuskupan Agats dan menetap di Ewer.
Sebelumnya pada 1982, Sr. Paulina Gani, OSU bersama dengan Sr.
Ildefonsa (Sr. Helena) telah datang berkunjung untuk melihat kemungkinan
mengembangkan karya Ordo Santa Ursula di Asmat.Periode 1980 sampai 2000
terjadi proses Indonesianisasi petugas pastoral yang berjalan
intensif. Pada awal 1980-an dari 30 tenaga religius, 21 di antaranya
adalah misionaris asing. Sampai tahun 2000, tinggal 5 orang dan 2 orang
pada tahun 2010 yakni P. Virgil Petermeier, OSC dan P. Vincent Cole, MM.
Sejak tahun 2000, kelompok religius pribumi terus bertambah hingga
mencapai 33 orang. Calon imam/ religius yang sebelumnya hanya 4 orang,
pada 2000 sudah berjumlah 24 orang. Sedangkan tenaga awam pada 1980
hanya berjumlah 8 orang dan pada tahun 2000 mencapai 16 orang. Hingga
tahun 2010 tenaga awam mencapai 31 orang (20 tenaga kantor dan 11
katekis).
Pada
April 2001, lebih dari 200 peserta mengikuti Musyawarah Pastoral
kedua. Tujuannya untuk menemukan pendekatan pastoral yang lebih cocok
dan transformatif menuju Gereja Mandiri dengan memanfaatkan pola
kepemimpinan adat dan nilai-nilai luhur budaya Asmat. Kesempatan Muspas
ini sekaligus didedikasikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Mgr.
Alphonse A. Sowada, OSC atas 40 tahun pengabdian beliau di Gereja Lokal
Keuskupan Agats. 32 tahun di antaranya diabdikan beliau sebagai Uskup
Agats. P. Virgil Petermeier, OSC sebulan kemudian ditunjuk sebagai
Administrator Keuskupan Agats.
Setelah menanti setahun lebih, akhirnya
umat Keuskupan Agats mempunyai seorang Uskup baru. Paus Johanes Paulus
II pada hari Senin, 6 Mei 2002 mengangkat P. Aloysius Murwito, OFM
sebagai Uskup Agats menggantikan Mgr. Alphonse Sowada, OSC. Berita
pengangkatan Uskup Aloysius Murwito, OFM kemudian diumumkan secara resmi
di Roma pada tanggal 8 Juni 2002. Dengan motto, “In Deo Speravi Non
Timebo” (Kepada Allah Aku Percaya, Aku Tidak Takut) Mazmur 56: 5. Mgr.
Aloysius Murwito, OFM ditahbiskan pada hari Minggu, 15 September 2002 di
Lapangan Yos Sudarso Agats dengan penahbis utama Mgr. Jacobus
Duivenvoorde, MSC, Uskup Keuskupan Agung Merauke. Sementara itu, Mgr.
Alphonse A. Sowada, OSC (mantar Uskup Agats), Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM
(Uskup Jayapura) dan Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm (Uskup
Manokwari-Sorong) menjadi Pentahbis-Serta. Upacara pentahbisan ini
diikuti ribuan umat, para uskup, biarawan-biarawati, para pastor, para
suster serta tamu undangan lain dari instansi pemerintah.
Tahbisan
Uskup kedua ini membuka sejarah baru Keuskupan Agats dan menjadi babak
baru pada proses Indonesianisasi dalam kepemimpinan keuskupan. Sampai
tahun 2010, wilayah dan umat Keuskupan Agats dilayani oleh 20 pastor {6
orang Projo Keuskupan Agats, 1 projo Keuskupan Bogor, 1 orang Projo
Keuskupan Makasar, 7 OSC Prioran Wahyu Salib Papua, 3 orang OSC Bandung,
1 orang Marryknoll Missionaries (MM), 2 orang OFM Kustodi Duta Damai
Papua}. 9 suster (6 TMM dan 3 OSU), dan 20 orang tenaga awam yang
bekerja dalam Komisi-komisi dan kantor keuskupan serta 11 orang katekis
paroki.
Sumber:
© 2012 www.keuskupanagats.org