Selasa, 02 Juli 2013

Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi Papua Santo Albertus Agung mengadakan pemutaran dan diskusi film documenter Papuan Voices di Asrama Putri Katolik Santa Monica, Kota Sorong, Papua Barat, Sabtu, 26 Januari 2013.

Maria Goreti Bikin Penasaran di Malam Minggu

by Wensislaus Fatubun March 07, 2013
(Foto: Suasana pemutaran video-video Papuan Voices di Asrama Putri Katolik Santa Monica, Kota Sorong)
Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi Papua Santo Albertus Agung mengadakan pemutaran dan diskusi film documenter Papuan Voices di Asrama Putri Katolik Santa Monica, Kota Sorong, Papua Barat, Sabtu, 26 Januari 2013.


Siswa dan siswi di asrama putra santo Agustinus dan asrama Putri Santa Monica, yang di damping oleh beberapa biarawan-biarawati Ordo Santo Agustinus dan para pembina asrama memadati ruang belajar asrama putri Santa Monica. Ada yang duduk di kursi, ada juga yang berdiri.
“Kita hadir di ruangan ini untuk menyaksikan film documenter yang diproduksi oleh kawan-kawan kita di Jayapura dan Merauke. Tapi, ingat! Kita bukan hanya menonton saja dan pulang tidur. Kita diharapkan untuk setelah menonton, berdiskusi dan berefleksi tentang persoalan keadilan, perdamaian dan lingkungan hidup di tanah Papua”, ungkap Pater. Bernat Baru OSA membuka acara pemutaran dan diskusi film. Papuan Voices
Pemutaran film dimulai. Satu persatu film karya tim Papuan Voices di Jayapura dan Merauke diputar. Semua peserta tampak santai menonton. Suara tertawa dari para peserta pu terdengar ketika ada gambar “anak kecil pakai sepatu berjalan memasuki ruangan sekolah” dalam film “Harapan Anak Cendrawasi”. Bukan hanya itu saja. Para peserta juga tertawa ketika seorang bapak berkata “kelapa ini sekarang buahnya berwarna warni. Ada yang merah, kuning....” dalam film “Kelapa Berbuah Jerigen. Tapi, ada juga reaksi spontan dengan nada kritis dari para peserta ketika menonton film “Surat Cinta Kepada Sang Prada”. “Disini banyak kejadian seperti yang dialami oleh Maria”, ungkap salah satu peserta.
Setelah semua film Papuan Voices diputar, Januarius Lagowan, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi Papua Santo. Albertus Agung, tampil ke depan ruangan dan memandu diskusi tentang film Papuan Voices dan kenyataan hidup warga masyarakat di Sorong.
Orang mudah sekarang harus mengetahui identitas diri dan potensi bakatnya, sehingga dapat menjadi pribadi yang menjadi rahmat bagi manusia dan alam di tanah Papua. Kita juga harus membuka mata hati kita untuk melihat dan tanggap terhadap persoalan yang terjadi di tanah Papua dengan menciptakan rasa solidaritas yang utuh dalam mempertahankan kearifan local tanpa terpengaruh dengan proses pembunuhan karakter dan mental masyarakat Papua akhir-akhir ini dengan berbagai kebijakan investasi yang kurang berpihak pada masyarakat adat. Demi kepentingan investor, pemerintah menindas dan mengorbankan masyarakat”, ungkap Januarius Lagowan.
Dalam memandu sesi diskusi, Januarius Lagowan didampingi oleh Fredy dari Komunitas Belantara di Sorong.
Diskusipun menjadi hangat ketika terungkap semua persoalan yang sering siswa-siswi ini rasakan dan lihat. Film-Film Papuan Voices terasa mengugat pikiran dan perasaan para peserta. Para peserta sangat penasaran dan tidak mau menyudai acara nonton dan diskusi film Papuan Voices ini, khususnya ketika mendiskusikan film “Surat Cinta Kepada Sang Prada”. Ada peserta yang sedih dengan perjuangan Ety sebagai korban kekerasan seksual dari Prajurit TNI – AD. Ada juga peserta yang marah dengan sikap Prada Samsul Bakri Baharudin yang mentelantarkan Ety dan anak mereka. (Nenaluck)

Dari Koinonia Ke Diakonia



DARI KOINONIA KE DIAKONIA
Moto Mahasiswa katolik Cendrawasih-Papua(MKC-PAPUA) Santo Albertus Agung “VIVA PRO ECCLESIA ET PAPUA” terus mendorong kerinduan Mahasiswa asal Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Timika dan Keuskupan Sorong-Manokwari yang tergabung dalam Organisasi MKC-PAPUA St.Albertus Agung untuk terus merapatkan barisan dan menyatukan langkah guna menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran social gereja melalui empat perutusan gereja di tengah-tengah Umat Katolik di Tanah Papua.

Gereja dalam mewujudkan tugas perutusannya melalui empat “bidang dasar karya pastoral” ( fungsi dasar Gereja). Keempat bidang pastoral itu tidak terlepas antara yang satu dengan yang lain. Namun demikian empat bidang itupun tidak bisa disamakan begitu saja, mengingat masing-masing mempunyai ruang lingkup serta kekhasan tersendiri. Keempat bidang karya pastoral Gereja itu adalah; Koinonia (Per-sekutuan dan persaudaraan hidup dalam Tuhan), Diakonia (Pelayanan kepada sesa-ma dan solidaritas sosial), Leitourgia (Perayaan iman dalam ibadat dan doa), dan Ke-rygma (Pewartaan atau pengajaran dan pendidikan iman).

Dalam mewujutkan cita-cita itu, Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasih-Papua St.Albertus Agung melaksanakan beberapa kegiatan penggalangan dana untuk sukseskan kegiatan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS-I) tanggal 19 Agustus 2013 di keuskupan Jayapura Papua, dalam bentuk sumbangan sukarela dari mahasiswa, para donator, dan usaha-usaha lain. Persiapan-persiapan itu sendiri sudah dijalankan oleh Panitia dari bulan Juni.

Rakernas-I MKC-PAPUA ini di dukung oleh beberapa organisasi katolik seperti JPIC-MSC Indonesia, Pastor-Pastor asal Papua, ICMICA-PAX ROMANA Asia-Pasifik dan Lima keuskupa di Papua dan Keuskupan Manado. *Nenaluck*

Sabtu, 22 Juni 2013

Sejarah



PerahuKondisi Asmat yang berlumpur dan peperangan antar masyarakatnya, pada awalnya tidak menarik perhatian dan dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Belanda. Kemudian baru diketahui bahwa seluruh Asmat menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang luar biasa. Selain keunikan pola hidup peramu yang animis dengan representasi dalam berbagai bentuk ritual dan ukiran. Di beberapa titik terdapat sumber minyak bumi. Hutan-hutan ditumbuhi berbagai macam pohon bakau, palma, pandan, kayu besi yang bagus untuk bangunan dan kayu gaharu yang mahal harganya. Di tengah hutan terdapat rimbunan pohon sagu yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Sungai-sungai dan lautnya kaya akan berbagai macam ikan, udang, kepiting dan buaya dll.
Baru pada awal 1900-an wilayah Selatan Papua (dulu Irian Jaya) termasuk Asmat mulai dilirik dan dieksplorasi. Kemudian untuk kepentingan keamanan maka pada tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun pos pemerintahan di Asmat. Bapak Felix Maturbongs yang diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats (1938-1943) mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Oleh orang Asmat, pos pemerintahan itu disebut Akat (baik, bagus). Kata Akat kemudian berubah menjadi Agats (karena lidah orang Belanda sulit menyebut Akat). Pada tahun 1936 ini juga P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika. Inilah misi pertama di wilayah lumpur Asmat. Kunjungan perdana ini guna melihat langsung keadaan Asmat dan mencari kemungkinan untuk pewartaan Injil. Tercatat bahwa pada tahun 1938, P. Hendrikus Conelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur-Kei. Kemudian dua (2) gereja dibangun (di Syuru dan Ayam). Pada Agustus 1941, P. Cornelisse, MSC mengirim dua Guru Katolik ke Agats untuk rencana pembukaan SD Katolik Syuru dan Ayam. Bulan November 1941, Guru Thadeus Ngaderman, Yoseph Renwarin, Natalis Kelanit, Emerikus Rahawarin dan Guru Isaias Maturbongs mengajar perdana di SD Katolik Ewer, Syuru dan Ayam. Sampai tahun 1942, belum ada warga pribumi yang dibaptis. Umat Katolik di Agats terdiri dari anggota keluarga guru dan pegawai pemerintah antara 40-50 orang. Pater Cornelisse, MSC merayakan Natal 1942 di Agats dan kembali ke Langgur dengan K.M. Abatras. Pada Januari 1943, tentara Jepang telah memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke bahwa penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Agats dimusnahkan. Pada 26 Januari 1943, Bestir dan semua penduduk Agats(pendatang) berangkat dengan K.M. Herman ke Merauke. Sambil bertolak dari Agats, seluruh Pos Agats dalam keadaan terbakar. Sampai di sini semua usaha awal pewartaan untuk Asmat dihentikan karena situasi Perang Dunia II.
MisionarisBaru pada 1950-an misi di Asmat dimulai kembali saat P. Gerarld Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat. Beliau berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang sebelumnya mengungsi ke Kamoro. P. Zegwaard menempatkan 5 orang Katekis di kampung Ao, Kapi, As-Atat dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamasj. Pada Januari 1953, P. Zegwaard, MSC mulai menetap di Agats dan pada 3 Pebruari 1953 membaptis seorang ibu di Kampung Syuru (orang Asmat pertama). Demi efektifitas pelayanan dan pewartaan maka dibuka pusat-pusat misi di Agats, Ayam, Yamasj, Sawa-Erma, Atsj dan Pirimapun. Didesak oleh kebutuhan akan kenyamanan belajar bagi anak-anak maka pada tahun 1956, para suster PBHK (Putri Bunda Hati Kudus) membuka sebuah Asrama Putri dan membantu melayani di Poliklinik Agats.
Setelah melalui suatu proses panjang, akhirnya pada 26 Perbuari 1958 terjadi penandatanganan kontrak kerja antara Keuskupan Agung Merauke dengan Pro-Provinsi OSC St. Odilia Amerika untuk secara khusus melayani daerah Asmat. Sedangkan daerah Basim, Bayun, Pirimapun yang dihuni oleh berbagai suku tetap ditangani oleh para misionaris MSC. Empat (4) misionaris OSC pertama tiba di lumpur Asmat pada 15 Desember 1958 yaitu: Pst. Frank Pitka, OSC, Pst. Delmar Hesch, OSC, Br. Joseph DeLouw, OSC dan Br. Clarence Neuner, OSC. Kemudian sejak 1 November 1961 terjadi peralihan resmi tanggung jawab misi di daerah Asmat ketika Mgr. Herman Tillemans, MSC (Uskup Agung Merauke) mengangkat P. Francis Pitka, OSC menjadi Vicar Delegatus untuk daerah Asmat. Tiga tahun berselang, OSC mengutus anggotanya untuk memperkuat misi di Asmat dengan membuka pusat-pusat misi baru di Sawa-Erma, Komor, Yaosakor dan Basim. November 1966, para suster TMM (Tarekat Maria Mediatrix) datang dari Langgur – (Kei Kecil). 4 Suster TMM perdana yaitu: Sr. Sebastiana Lesomar, MM, Sr. Margareta, MM, Sr. Edmunda Takerubun, MM dan Sr. Antonina, MM. Para suster ini kemudian menggantikan suster PBHK.
14 Desember 1966, P. Alphonse A. Sowada, OSC diangkat sebagai Vicarius Generalis untuk Asmat. Selanjutnya pada 21 Agustus 1969, Vatikan mengumumkan pengangkatannya sebagai Uskup Agats. Tiga bulan kemudian, 23 November 1969, Keuskupan Agats berdiri bertepatan dengan penahbisan P. Alphonse A. Sowada, OSC sebagai Uskup Pertama. Sejak itu Uskup baru bersama para Crosier di Asmat terus-menerus mencari bentuk warta Injil yang tepat untuk pembangunan dan pengembangan masyarakat Asmat. 
Bertepatan dengan penutupan Pesta Perak hadirnya misi di Asmat maka diadakan Muspas (Musyawarah Pastoral) Keuskupan Agats pertama pada Februari 1979. Saat itu dihasilkan sejumlah usulan untuk pengembangan pastoral. Kemudian pada 20 -25 Oktober 1980, 15 petugas pastoral secara sistematis menyusun rencana pastoral lima tahunan yang menghasilkan Visi Gereja Baru dan prioritas pastoral yang menekankan unsur budaya Asmat.
Menanggapi hasil Muspas maka datang beberapa pelayan yang memperkuat barisan petugas pastoral yang sebelumnya telah berkarya di Asmat. Pastor Marryknoll, P. Vince Cole, MM tiba di Asmat pada akhir 1979. Kemudian pada 17 November 1980, tibalah empat (4) Crosier dari Provinsi Bandung: P. Agustinus Made, OSC, P. Yohanes Widyasuharjo, OSC, Fr. Agus Rachmat, OSC dan Fr. Bambang, OSC untuk melayani Paroki Atsj dan Yaosakor. Dua (2) pastor Millhil menyusul: P. Joseph Haas, MHM dan P. Anton Putman, MHM di pusat Paroki Senggo tahun 1982 (P. Anton Putman baru pulang ke Belanda 2009 lalu). Satu tahun kemudian pada 13 Oktober 1983, Sr. Paulina Gani, OSU untuk pertama kalinya datang melayani di Keuskupan Agats dan menetap di Ewer. Sebelumnya pada 1982, Sr. Paulina Gani, OSU bersama dengan Sr. Ildefonsa (Sr. Helena) telah datang berkunjung untuk melihat kemungkinan mengembangkan karya Ordo Santa Ursula di Asmat.Periode 1980 sampai 2000 terjadi proses Indonesianisasi petugas pastoral yang berjalan intensif. Pada awal 1980-an dari 30 tenaga religius, 21 di antaranya adalah misionaris asing. Sampai tahun 2000, tinggal 5 orang dan 2 orang pada tahun 2010 yakni P. Virgil Petermeier, OSC dan P. Vincent Cole, MM. Sejak tahun 2000, kelompok religius pribumi terus bertambah hingga mencapai 33 orang. Calon imam/ religius yang sebelumnya hanya 4 orang, pada 2000 sudah berjumlah 24 orang. Sedangkan tenaga awam pada 1980 hanya berjumlah 8 orang dan pada tahun 2000 mencapai 16 orang. Hingga tahun 2010 tenaga awam mencapai 31 orang (20 tenaga kantor dan 11 katekis).
ServingPada April 2001, lebih dari 200 peserta mengikuti Musyawarah Pastoral kedua. Tujuannya untuk menemukan pendekatan pastoral yang lebih cocok dan transformatif menuju Gereja Mandiri dengan memanfaatkan pola kepemimpinan adat dan nilai-nilai luhur budaya Asmat. Kesempatan Muspas ini sekaligus didedikasikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Mgr. Alphonse A. Sowada, OSC atas 40 tahun pengabdian beliau di Gereja Lokal Keuskupan Agats. 32 tahun di antaranya diabdikan beliau sebagai Uskup Agats. P. Virgil Petermeier, OSC sebulan kemudian ditunjuk sebagai Administrator Keuskupan Agats.
Setelah menanti setahun lebih, akhirnya umat Keuskupan Agats mempunyai seorang Uskup baru. Paus Johanes Paulus II pada hari Senin, 6 Mei 2002 mengangkat P. Aloysius Murwito, OFM sebagai Uskup Agats menggantikan Mgr. Alphonse Sowada, OSC. Berita pengangkatan Uskup Aloysius Murwito, OFM kemudian diumumkan secara resmi di Roma pada tanggal 8 Juni 2002. Dengan motto, “In Deo Speravi Non Timebo” (Kepada Allah Aku Percaya, Aku Tidak Takut) Mazmur 56: 5. Mgr. Aloysius Murwito, OFM ditahbiskan pada hari Minggu, 15 September 2002 di Lapangan Yos Sudarso Agats dengan penahbis utama Mgr. Jacobus Duivenvoorde, MSC, Uskup Keuskupan Agung Merauke. Sementara itu, Mgr. Alphonse A. Sowada, OSC (mantar Uskup Agats), Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura) dan Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm (Uskup Manokwari-Sorong) menjadi Pentahbis-Serta. Upacara pentahbisan ini diikuti ribuan umat, para uskup, biarawan-biarawati, para pastor, para suster serta tamu undangan lain dari instansi pemerintah.
PriestsTahbisan Uskup kedua ini membuka sejarah baru Keuskupan Agats dan menjadi babak baru pada proses Indonesianisasi dalam kepemimpinan keuskupan. Sampai tahun 2010, wilayah dan umat Keuskupan Agats dilayani oleh 20 pastor {6 orang Projo Keuskupan Agats, 1 projo Keuskupan Bogor, 1 orang Projo Keuskupan Makasar, 7 OSC Prioran Wahyu Salib Papua, 3 orang OSC Bandung, 1 orang Marryknoll Missionaries (MM), 2 orang OFM Kustodi Duta Damai Papua}. 9 suster (6 TMM dan 3 OSU), dan 20 orang tenaga awam yang bekerja dalam Komisi-komisi dan kantor keuskupan serta 11 orang katekis paroki.
Sumber: © 2012 www.keuskupanagats.org

Selasa, 18 Juni 2013

KOMPOSISI PANITIA RAKERNAS-I MKC-PAPUA. 2013




DEWAN PENGURUS PUSAT
MAHASISWA KATOLIK CENDERAWASIH
( M K C )
St.Albertus Agung
P A P U A
   Alamat Surat: Asrama Papua, Kamasan VIII,
Jl. Pasanggrahan, Ling.III, Kec.Tomohon Utara. Kota  Tomohon, Sulawesi Utara.
No.Hp.081380605445, Email. westpapuaofcatholikstuden@gmail.com


Minggu, 02 Juni 2013

MEMORIA PASSIONIS DI CERITAKAN KEMBALI OLEH MKC-PAPUA MEDIA

MEMORIA PASSIONIS
MENYELAM SEJARAH SUNYI BANGASA PAPUA
Di Ceritakan Kembali Oleh MKC-PAPUA Media.
…………….Jika kita tanpa prasangak mengunjungi pelosok-pelosok tanah Papua: Wamena, Paniai, Seluruh wilayah pegunungan tengah, Pegunungan Bintang, Mindiptana, Timika, Arso, Mamberamo dan seterusnya maka dengan mudah kita akan mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa ini: “ Disungai ini kami punya bapa dibunuh; di lereng gunung itu dulu ada sejumlah kampung yang dikasih habis sama ABRI; dilapangan itu tete moyang kami dulu dipaksa untuk membakar koteka karena dianggap primitif; Gunung itu dulu kami punya, sekarang orang sudah kasih rusak kami punya mama; dulu kami gampang cari binatang di hutan tetapi sekarang kami tidak boleh masuk, karena katanya, milik perusahaan yang dilindungi UU negara; Kami punya anak-anak tidak bisa maju karena guru-guru disekolah hampir tidak ada. Susah dapat obat karena mahal; dsb,dst.
Cerita- cerita ini tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan dari turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya: Kami dinilai bukan manusia. Artinya kami tidak diperlukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: Obyek kebijakan Politik, Obyek Operasi Militer, Obyek pengembangan Ekonomi, Obyek turisme, dst. Kenyataan-kenyataan ini tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa ini hanya menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa Papua.Ingatan itulah yang diwariskan turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma korban. Seorang teolog: Johan Baptist Metz pernah melukiskan bobot ingatan akan sejarah ini dengan memakai istilah “Memoria Passionis” ialah ingatan penderiataan. Memoria passionis ini  bagaikan magma yang tersembunyi dari pandangan mata biasa tetapi menyimpan energi laten yang dasyat dan siap menjungkir-balikkan status quo yang ada. (J.Budi Hermawan & Theo van den Broek)
Dr.Benny Giay,2000.Menuju Papua Baru.

HIMBAUAN KEPADA SELURUH MAHASISWA KATOLIK-PAPUA

No                   : 01/DPP-MKC/PAPUA/E-X/05-2013
Perihal           : HIMBAUAN
Kepada Yth:  SELURUH MAHASISWA KATOLIK
                        ASAL LIMA KEUSKUPAN DI TANAH PAPUA YANG STUDI
DI SELURUH KOTA STUDI
DI -
INDONESIA.

Criste Amore…!
“Menurut rencana Allah, setiap manusia dipanggil untuk mengembangkan dirinya, karena setiap kehidupan adalah panggilan…. Karena dianugerahi kecerdasan dan kebebasan, manusia bertanggung jawab atas perkembangan dan keselamatan dirinya….setiap orang dapat bertumbuh dalam kemanusiaan, mampu memajukan nilai kemanusiaannya, dapat menjadi semakin pribadi.”
Perkembangan dan kemajuan diri adalah panggilan yang terdapat dalam rencana Allah bagi setiap orang. Keselamatan manusia diwujudkan dengan mengembangkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, kemuliaan Allah dan perkembangan diri manusia bukanlah dua hal yang bertentangan. 
Agar perkembangan dan kemajuan setiap pribadi dan kelompok dapat terjamin secara maksimal, dibutuhkan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum bukan sejumlah fasilitas atau sekumpulan barang tertentu. Kesejahteraan umum yang dimaksut adalah kondisi yang diciptakan dengan tujuan agar setiap orang dalam kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensi sepenuhnya.
Prinsip kesejahteraan umum disini juga menegaskan bahwa kita semua bertanggung jawab seorang terhadap yang lain; bahwa orang lain adalah tanggung jawab kita. Tanggung jawab tersebut mewajibkan kita semua bekerja membangun kondisi-kondisi sosial yang menjamin agar setiap orang dalam mengenyam pendidikan dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan potensi mereka. 
Konsekuensi praktis dari prinsip ini adalah setiap kelompok dalam masyarakat harus memperhatikan hak, aspirasi, dan kebutuhan kelompok-kelompok lain serta kebaikan bersama seluruh masyarakat. Dengan kata lain, setiap orang perlu menyesuaikan kepentingan masing-masing dengan kebutuhan pihak lain.
Maka seiring dengan perkembangan dunia yang penuh dengan persaingan ketat di berbagai bidang, baik Sosial,Budaya,Politik,Ekonomi,dan IPTEK yang menuntut setiap orang untuk harus dapat mengenyam pendidikan di bangku studi agar benar bertanggung jawab seorang terhadap yang lain, tentuh membutuhkan daya dan upaya dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia yang ada.
Semangat juang inipun tidak terlepas dari keyakinan dan kepercayaan atas penyertaan Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap langkah hidup.
Keyakinan dalam iman gereja katolikpun mempersatukan beberapa orang muda katolik yang datang dari berbagai latarbelakang pendidikan di tanah papua untuk menyatukan pikiran dalam mempertahankan iman gereja katolik di tengah-tengah pergolakan dunia modern, dalam satu organisasi yang dibentuk sebagai sebuah tempat berpikir kritis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan seperti di bangku studi maupun persoalan gereja di lima keuskupan yang ada di papua.
Maka dibentuklah sebuah Organisasi, tempat berkumpulnya Mahasiswa Katolik asal lima keuskupan di Papua diantaranya: Keuskupan Agung Merauke,Keuskupan Jayapura,Keuskupan Agats,Keuskupan Timika Dan Keuskupan Sorong-Manokwari  dengan:

1.    Nama Organisasi : Mahasiswa Katolik Cendrawasih-Papua, disingkat MKC-PAPUA.
2.    MKC didirkan di Lotta – Manado tanggal 18 Februari 1995.
3.    MKC pusatnya berkedudukan di Tomohon – Sulawesi Utara.
4.    MKC-PAPUA keberadaannya sebagai Organisasi Gerejawi.
5.    MKC-PAPUA berasaskan CINTA KASIH.
6.    MKC-PAPUA dijiwai KEKATOLIKAN.
7.    MKC-PAPUA disemangati KEMAHASISWAAN.
8.    Santo Pelindung MKC-PAPUA : SANTO ALBERTUS AGUNG.
9.    MKC-PAPUA berfungsi sebagai wadah Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan,serta Perjuangan.
10. Tujuan Umum MKC-PAPUA adalah turut serta berperan dalam mengemban dan memajukan misi Gereja.
11. Tujuan khusus MKC-PAPUA adalah :
  1. Meningkatkan mutu kehidupan IMAN, MORAL dan SPIRITUALITAS
  2. Meningkatkan Pengamalan Sosial.
  3. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan seni.
  4. Meningkatkan Kualitas Studi Anggota.
  5. Berjuang dan berpihak pada kaum tertindas sesuai nilai-nilai kekatolikan.
12. Untuk mencapai Tujuan tersebut, MKC-PAPUA mengembangkan usaha-usaha dalam aspek :
1.    Kerohanian dan Mentalitas
2.    Sosial
3.    Nilai/Norma Kekatolikan.
4.    Pendidikan serta usaha-usaha yang lain sesuai kebutuhan daerah dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan persaudaraan sejati sesuai ajaran sosial gereja dan nilai-nilai kekatolikan.

Akhirkata sekian dan terimakasih

“VIVA PRO ECCLESIA ET PAPUA”
DEWAN PENGURUS PUSAT
MAHASISWA KATOLIK CENDERAWASIH-PAPUA
( M K C )
Santo Albertus Agung
PERIODE 2013-2014


JANUARIUS LAGOWAN                                             HENDRIK WERRE                        
KETUA UMUM                                                             SEKRETARIS                                 


MKC-PAPUA DAN PERJUANGANNYA

PERJALANAN PANJANG MENUJU SEBUAH PERUBAHAN

Kerinduan untuk mewujutkan cita-cita mulia tentang Gereja Mandiri dan Misioner lewat ajaran sosial gereja dalam konteks misi gereja katolik terus membara dihati Mahasiswa yang berhimpun dalam Organisasi Mahasiswa Katolik Cendrawasi (MKC)-Papua St.Albertus Agung.
Hal ini dapat dilihat ketika Organisasi MKC-Papua didirikan di Lotta-Pineleng,tanggal 18 Februari 1995 yang  merupakan langkah awal peran Mahasiswa Papua dalam membangun Gereja di Tanah Papua, dimana banyak kader-kader MKC-Papua yang saat ini mendapat peran sebagai pengambil kebijakan dalam menentukan arah pembangunan di Tanah Papua, namun Harapan itu tidak berjalan berkesinambungan sebaik apa yang diharapkan seiring situasi dan kondisi yang terus berubah.
Dalam perjalanannya MKC sempat mengalami kevakuman, tepatnya kepengurusan periode 2005-2006. Kemudian atas inisiatif beberapa anggota mahasiswa katolik dari lima keuskupan di papua yang didampingi oleh Senior Ronal Huby.Spd. Pada tanggal 6 Oktober 2007 menggelar Sidang Umum Anggota (SUA) Istimewa di aula Asrama Papua Kamasan VI Tondano Sulawesi Utara.
Dari hasil SUA Istimewa tersebut terpilih saudara W.Welinson Eric Logo sebagai Ketua Umum dan Saudara Kristoforus Mahuse sebagai Sekretaris Umum. Banyak kegiatan yang sukses dilakukan dalam kepengurusan ini namun dalam perjalanannya tidak berjalan mulus karena saudara Eric Logo yang tertembak oleh Polisi di Abepura 9 April 2009,yang akhirnya meninggal setelah mendapat perawatan medis di RSUD Dok II Jayapura. Kemudian kesepakatan seluruh anggota dalam rangka penyelamatan Organisasi, Kepengurusan tersebut dipercayakan kepada saudara Marthen Entama untuk memimpin periode 2009-2010. Kemudian pada tanggal 10 April 2010 di gelar Sidang Umum Anggota(SUA) dan saudara Januarius Lagowan terpilih sebagai ketua umum Mahasiswa Katolik Cendrawasi di sulawesi utara periode 2010-2012.
Dalam kepengurusan saudara Januarius yang bercita-cita mengarahkan kader-kader MKC yang bermoral dan beriman agar menjadi kader yang mempunyai harga tawar dengan pengetahuan yang baik lewat pendidikan-pendidikan yang telah diprogramkan dalam silabus pendidikan MKC maupun diluar silabus yang diajarkan sesuai kondisi daerah, berjalan dengan baik karena kerjasama anggota MKC, Gereja maupun Organisasi-Organisasi Lokal,Nasional dan Internasional serta seluruh mahasiswa papua yang studi di sulawesi utara.  Hasil diskusi-diskusi kecil yang mengarahkan anggota MKC untuk refleksi dan meditasi selama satu periode itu menghasilkan sebuah semangat pergerakan yang baru untuk melihat Ajaran sosial gereja dalam konteks misi sebagai satu spirit untuk memperjelas kontribusi Mahasiswa Katolik yang berasal dari lima keuskupan di Papua dalam melaksanakan karya nyata ditengah-tengah umat, berasaskan cinta kasih,dijiwai kekatolikan dan disemangati oleh kemahasiswaan.
Dari hasil refleksi itu mendorong pengurus MKC di sulawesi utara untuk menggelar Konggres Dan Sidang Umum Anggota pada 11 Agustus 2012 dalam rangka penyatuan konsep dalam mendukung gereja mandiri dan misioner ditanah papua. Bersamaan dengan cita-cita itu tanggal 5 Februari 2012 Pengurus MKC melakukan sosialisasi  di wilayah pulau jawa. Kemudian pada tanggal 23 Januari 2013 sosialisasi dilanjutkan diwilayah papua tepatnya di kota sorong,untuk pembentukan pengurus cabang di beberapa kota studi di indonesia, dan  Terobosan-terobosan untuk mendapat dukungan dari Lima Keuskupan di Tanah Papua dengan memberikan laporan kegiatan. Tidak hanya itu Dewan Pengurus juga melakukan lobi-lobi untuk mendapat dukungan dari organisasi Lokal, Nasional dan Internasional yang komunikasinya berjalan sangat baik saat ini seperti  SKP-KC Jayapura, JPIC-MSC, Komunitas OSA,PMKRI, ICMICA Pax Romana Asia-Pasifik, Fransiscan Internasional Asia-Pasifik, IMCS Pax Romana Asia-Pasifik, untuk bekerja sama dalam membangun sumber daya manusia yang handal. Saat ini Mahasiswa Katolik Cendrawasi-Papua mempersiapkan diri untuk menggelar Rapat Kerja Nasional-I (RAKERNAS-I) yang akan dilaksanakan bulan Agustus 2013 dengan Keuskupan Jayapura sebagai tuan rumah. “VIVA PRO ECCLESIA ET PAPUA” (Nenaluck)