Maria Goreti Bikin Penasaran di Malam Minggu
by
Wensislaus Fatubun
—
March 07, 2013
(Foto: Suasana pemutaran video-video Papuan Voices di Asrama Putri Katolik Santa Monica, Kota Sorong)
Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi Papua
Santo Albertus Agung mengadakan pemutaran dan diskusi film documenter
Papuan Voices di Asrama Putri Katolik Santa Monica, Kota Sorong, Papua
Barat, Sabtu, 26 Januari 2013.
Siswa dan siswi di asrama putra santo
Agustinus dan asrama Putri Santa Monica, yang di damping oleh beberapa
biarawan-biarawati Ordo Santo Agustinus dan para pembina asrama memadati
ruang belajar asrama putri Santa Monica. Ada yang duduk di kursi, ada
juga yang berdiri.
“Kita hadir di ruangan ini untuk
menyaksikan film documenter yang diproduksi oleh kawan-kawan kita di
Jayapura dan Merauke. Tapi, ingat! Kita bukan hanya menonton saja dan
pulang tidur. Kita diharapkan untuk setelah menonton, berdiskusi dan
berefleksi tentang persoalan keadilan, perdamaian dan lingkungan hidup
di tanah Papua”, ungkap Pater. Bernat Baru OSA membuka acara pemutaran dan diskusi film. Papuan Voices
Pemutaran film dimulai. Satu persatu film karya tim
Papuan Voices di Jayapura dan Merauke diputar. Semua peserta tampak
santai menonton. Suara tertawa dari para peserta pu terdengar ketika ada
gambar “anak kecil pakai sepatu berjalan memasuki ruangan sekolah”
dalam film “Harapan Anak Cendrawasi”. Bukan hanya itu saja. Para peserta
juga tertawa ketika seorang bapak berkata “kelapa ini sekarang buahnya
berwarna warni. Ada yang merah, kuning....” dalam film “Kelapa Berbuah
Jerigen. Tapi, ada juga reaksi spontan dengan nada kritis dari para
peserta ketika menonton film “Surat Cinta Kepada Sang Prada”. “Disini banyak kejadian seperti yang dialami oleh Maria”, ungkap salah satu peserta.
Setelah semua film Papuan Voices diputar, Januarius
Lagowan, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi
Papua Santo. Albertus Agung, tampil ke depan ruangan dan memandu diskusi
tentang film Papuan Voices dan kenyataan hidup warga masyarakat di
Sorong.
“Orang mudah sekarang harus mengetahui identitas
diri dan potensi bakatnya, sehingga dapat menjadi pribadi yang menjadi
rahmat bagi manusia dan alam di tanah Papua. Kita juga harus membuka
mata hati kita untuk melihat dan tanggap terhadap persoalan yang terjadi
di tanah Papua dengan menciptakan rasa solidaritas yang utuh dalam
mempertahankan kearifan local tanpa terpengaruh dengan proses pembunuhan
karakter dan mental masyarakat Papua akhir-akhir ini dengan berbagai
kebijakan investasi yang kurang berpihak pada masyarakat adat. Demi
kepentingan investor, pemerintah menindas dan mengorbankan masyarakat”, ungkap Januarius Lagowan.
Dalam memandu sesi diskusi, Januarius Lagowan didampingi oleh Fredy dari Komunitas Belantara di Sorong.
Diskusipun menjadi hangat ketika terungkap semua
persoalan yang sering siswa-siswi ini rasakan dan lihat. Film-Film
Papuan Voices terasa mengugat pikiran dan perasaan para peserta. Para
peserta sangat penasaran dan tidak mau menyudai acara nonton dan diskusi
film Papuan Voices ini, khususnya ketika mendiskusikan film “Surat
Cinta Kepada Sang Prada”. Ada peserta yang sedih dengan perjuangan Ety
sebagai korban kekerasan seksual dari Prajurit TNI – AD. Ada juga
peserta yang marah dengan sikap Prada Samsul Bakri Baharudin yang
mentelantarkan Ety dan anak mereka. (Nenaluck)